A. Pengertian
Project Based Learning merupakan sebuah model pembelajaran yang
sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Project Based Learning bermakna
sebagai pembelajaran berbasis proyek. Definisi secara lebih komperehensif
tentang Project Based Learning menurut The George Lucas Educational
Foundation (2005) adalah sebagai berikut :
1.
Project-based learning is curriculum fueled and standards based. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang
menghendaki adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui Project
Based Learning, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan
penuntun (aguiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah
proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat
melihat berbagai elemen mayor sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah
displin yang sedang dikajinya (The George Lucas EducationalFoundation:
2005).
2. Project-based learning asks a question or
poses a problem that each student can answer. Project Based Learning adalah model pembelajaran yang
menuntut pengajar dan atau peserta didik mengembangkan pertanyaan
penuntun (a guiding question). Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya
belajar yang berbeda, maka Project Based Learning memberikan kesempatan kepada para peserta
didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang
bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Hal ini
memungkinkan setiap peserta didik pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan
penuntun (The George Lucas Educational Foundation: 2005).
3. Project-based learning asks students to
investigate issues and topics addressing real-world problems while integrating
subjects across the curriculum. Project Based Leraning merupakan pendekatan pembelajaran yang
menuntut peserta didik membuat “jembatan” yang menghubungkan antar
berbagai subjek materi. Melalui jalan ini, peserta didik dapat melihat pengetahuan
secara holistik. Lebih daripada itu, Project Based Learning merupakan
investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan
berharga bagi atensi dan usaha peserta didik (The George Lucas Educational
Foundation: 2005).
4.
Project-based learning is a method that fosters abstract, intellectual
tasks to explore complex issues. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang
memperhatikan pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi dan mensintesis informasi melalui cara yang bermakna. (The
George Lucas Educational Foundation: 2005).
Menurut Cord et al. (Khamdi, 2007) pembelajaran berbasis
proyek adalah suatu model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang
menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks.
Pembelajaran berbasis proyek adalah penggunaan proyek sebagai model
pembelajaran. Proyek-proyek meletakkan siswa dalam sebuah peran aktif yaitu
sebagai pemecah masalah, pengambil keputusan, peneliti, dan pembuat dokumen.
Ide inti dari pembelajaran berbasis
proyek adalah bahwa masalah dunia nyata menangkap minat siswa dan memprovokasi
pemikiran yang serius sebagai siswa memperoleh dan menerapkan pengetahuan baru
dalam konteks pemecahan masalah. Guru memainkan peran fasilitator, bekerja sama
dengan siswa untuk menyusun pertanyaan berharga, penataan tugas bermakna,
pembinaan baik pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial, dan hati-hati
menilai apa yang siswa telah belajar dari pengalaman. Advokat menyatakan bahwa
pembelajaran berbasis proyek membantu mempersiapkan siswa untuk keterampilan
berpikir dan kolaborasi yang dibutuhkan di tempat kerja.
B. Sejarah
Perkembangan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Ketika digunakan pada abad ke-21 alat
/ keterampilan , Pembelajaran Berbasis
Proyek (PBL) adalah lebih dari sekedar pencarian web-atau tugas internet
penelitian. Dalam hal ini jenis proyek, siswa diharapkan untuk menggunakan teknologi
dengan cara yang bermakna untuk membantu mereka menyelidiki, berkolaborasi,
menganalisis, mensintesis dan menyajikan pembelajaran mereka. Dimana teknologi
diresapi seluruh proyek, istilah yang lebih tepat untuk pedagogi dapat disebut
sebagai iPBL (copyright 2006, ITJAB ), untuk mencerminkan penekanan alat
teknologi / keterampilan DAN konten akademis.
Ini 2.002 Georgia Departemen
Pendidikan inisiatif dikembangkan oleh tim teknologi instruksional. Ketika
digunakan secara efektif, penelitian telah menunjukkan PBL, dan iPBL, membantu
guru membuat kelas berkinerja tinggi di mana guru dan siswa membentuk komunitas
belajar yang kuat. Tujuannya adalah untuk kehidupan nyata konteks dan teknologi
untuk memenuhi dan mencapai hasil dalam kurikulum melalui pendekatan inkuiri
berbasis. Pendekatan PBL dirancang untuk mendorong siswa untuk menjadi pekerja
mandiri, pemikir kritis, dan pembelajar seumur hidup. Banyak guru dan
penelitian yang terlibat dalam PBL percaya itu membuat sekolah lebih bermakna
karena menyediakan investigasi mendalam dari dunia nyata topik dan isu-isu
signifikan layak perhatian setiap anak individu dan investigasi.
Contoh lain dari sebuah sekolah
interdisipliner sukses PBL terletak di Pomona, California. Sekolah
Internasional Politeknik Tinggi, biasa disingkat I-Poly Sekolah Tinggi, berasal
pada tahun 1993, adalah sekolah publik yang tinggi perguruan persiapan (9-12)
terletak di California State Polytechnic University, Pomona (Cal Poly Pomona)
kampus dan dioperasikan oleh Los Angeles County Dinas Pendidikan dalam
hubungannya dengan College of Pendidikan dan Studi Integratif di universitas.
I-Poly juga merupakan pelatihan guru situs bekerja sama dengan Cal Poly Pomona
Pada abad XXI
yang ditandai oleh peningkatan kompleksitas peralatan teknologi, dan munculnya
gerakan restrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas teknologi
dan manusia, menyebabkan dunia kerja akan memerlukan orang yang dapat mengambil
inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah. Hubungan
“manusia-mesin” bukan lagi merupakan hubungan mekanistik akan tetapi merupakan
interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tingkat tinggi.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut
mulai direspon oleh dunia pendidikan di Indonesia, yang semenjak tahun 2000
menerapkan empat pendekatan pendidikan, yakni :
1. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life
skills)
2. Kurikulum dan pembelajaran berbasis
kompetensi
3. Pembelajaran berbasis produksi
4. Pendidikan berbasis luas (broad-based
education)
Orientasi baru pendidikan itu
berkehendak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga pendidikan kecakapan
hidup, dengan pendidikan yang bertujuan mencapai kompetensi (selanjutnya
disebut pembelajaran berbasis kompetensi), dengan proses pembelajaran yang
otentik dan kontekstual yang dapat menghasilkan produk bernilai dan bermakna
bagi mahasiswa, dan pemberian layanan pendidikan berbasis luas melalui berbagai
jalur dan jenjang pendidikan yang fleksibel multi-entry-multi-exit (Depdiknas,
2002, 2003).
Oleh sebab itu secara tidak langsung
terbentuk open-ended contextual activity-based learning, sebagai bagian dari
proses pembelajaran yang memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah yang
dihasilkan dari suatu usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang
dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong,
2000). Hal ini didefinisikan Blumenfeld et.al. (1991) sebagai model belajar
berbasis proyek (project-based learning) yaitu proses pembelajaran yang
berpusat pada proses relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit
pembelajaran bermakna dengan mengitegrasikan konsep-konsep dari sejumlah
komponen pengetahuan, atau disiplin, atau lapangan studi.
Pendidikan berorientasi kecakapan hidup, pembelajaran
berbasis kompetensi, dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan
produk yang bernilai, menuntut lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and
natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar dimensi-dimensi
kompetensi secara integratif. Lingkungan belajar yang dimaksud ditandai oleh:
1. Situasi belajar,
lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan
menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”.
2. Sumber-sumber data
primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kompleksitas dunia nyata.
3. Mengembangkan
kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan.
4. Pengembangan
kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan melalui negosiasi sosial,
kolaborasi, dan pengalaman.
5. Kompetensi sebelumnya,
keyakinan, dan sikap dipertimbangkan sebagai prasyarat.
6. Keterampilan
pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan pemahaman mendalam ditekankan.
7. Mahasiswa diberi
peluang untuk belajar secara apprenticeship di mana terdapat penambahan kompleksitas
tugas, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan.
8. Kompleksitas
pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhubungan konseptual,
dan belajar interdisipliner.
9. Belajar kooperatif
dan kolaboratif diutamakan agar dapat mengekspos mahasiswa ke dalam
pandangan-pandangan alternatif; dan
10. Pengukuran adalah
otentik dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran (Simons,
1996; Willis, 2000).
Memperhatikan karakteristiknya yang
unik dan komprehensif, model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based
Learning) cukup potensial untuk memenuhi tuntutan pembelajaran tersebut. Model
Pembelajaran Berbasis Proyek membantu mahasiswa dalam belajar :
1. Pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan
bermakna-guna (meaningful-use) yang dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan
yang otentik (CORD, 2001; Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000;
Marzano, 1992).
2. Memperluas pengetahuan melalui keotentikan
kegiatan kurikuler yang terdukung oleh proses kegiatan belajar melakukan
perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau
jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu.
3. Dalam proses membangun pengetahuan melalui
pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di
dalam suasana kerja kolaboratif.
C. Prinsip
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pengimplementasian pembelajaran
berbasis proyek tidak terlepas dari kurikulum, pertanggungjawaban, realisme,
belajar aktif, umpan balik, pengetahuan umum, pertanyaan yang memacu,
investigasi konstruktif, serta otonomi. Purnawan (Muliawati, 2010:11)
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis proyek mengacu pada hal-hal sebagai
berikut:
1.
Curriculum, memerlukan suatu strategi
sasaran di mana proyek sebagai pusat.
2.
Responsibility, Project Based Learning menekankan responbility
dan answerability para siswa ke diri dan panutannya.
3.
Realism,
kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang
sebenarnya.
4.
Active learning,
menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan siswa untuk
menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses
pembelajaran yang mandiri.
5.
Feedback,
diskusi, presentasi dan evaluasi terhadap para siswa menghasilkan umpan balik
yang berharga, ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
6.
General skill,
pembelajaran berbasis proyek dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok
dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan
yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self
management.
7.
Driving questions,
pembelajaran berbasis proyek difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang
memicu siswa untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip
dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
8.
Constructive investigations,
sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para siswa.
Autonomy, proyek menjadikan
aktivitas siswa sangat penting
D. Strategi dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek (Project Based Learning)
Strategi- strategi
yang digunakan dalam metode pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut
:
1.
Authenticity
Authenticity merupakan langkah awal dalam perancangan pembelajaran dengan pembelajaran
berbasis proyek. Dalam konsep authenticity, proyek atau tugas yang
dikerjakan siswa harus memiliki makna bagi siswa. Suatu tugas yang memiliki
makna adalah tugas dimana siswa merasa bahwa tugas tersebut sangat berguna
bagi siswa setelah ia terjun di dunia kerja. Tugas tersebut terkait dengan kebutuhan
dunia kerja, tugas tersebut dapat dijadikan bekal untuk kehidupannya. Dengan
dipahaminya “kebermaknaan” suatu tugas, maka motivasi siswa untuk
menyelesaikan tugas akan meningkat (ISTE, 2002), dengan demikian siswa akan
dapat menyelesaiakan tugasnya dan pada ak-hirnya siswa akan mampu menghasilkan
sesuatu dari tugas tersebut. Oleh karena itu tugas seorang pengajar dalam tahap
ini adalah menjelaskan kebermaknaan suatu tugas bagi siswa; pengajar harus bisa
memilih dan memberi tugas yang bermakna untuk siswa. Pada siklus I pada proses
penelitian ini, masalah authenticity, merupakan tahap awal yang
ditekankan pada siswa; dalam tahap ini pengajar harus mampu menjelaskan kebermaknaan
tugas, baik dari segi teknik maupun ekonomi.
2.
Academic Rigor
Academin rigor adalah penerapan konsep-konsep akademis dalam menyelesaikan suatu tugas.
Dalam pembelajaran berbasis proyek academic rigor, merupakan bagian yang
amat penting karena mengharuskan siswa menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam memecahkan
masalah yang dihadapi dalam penyelesaian suatu tugas. Pembelajaran dengan
pembelajaran berbasis proyek akan melatih dan membiasakan siswa untuk
mene-rapkan pendekatan ilmiah dalam memecahkan masalah dalam kehidupan. ISTE
(2002) mengatakan bahwa dalam metode pembelajaran berbasis proyek siswa
dilatih melakukan penelitian, menggunakan berbagai sumber informasi dan mampu
berpikir lintas keilmuan. Dalam tahap ini pengajar harus mampu me-rancang
pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan dan menggunakan
pendekatan ilmiah dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
3.
Applied Learning
Aplied learning adalah usaha untuk meng-arahkan kegiatan belajar siswa ke arah situasi
belajar yang mengacu pada kehidupan nyata yang berada di luar lingkungan
sekolah dan Kraf (1998) menyebut sebagai “real world oriented”. Salah
satu bentuk belajar dalam kehidupan nyata adalah agar siswa mampu bekerja
dalam organisasi modern yang menuntut disiplin tinggi, penggunaan teknologi
yang tepat, dan mampu berkomunikasi dengan rekan kerja, dan inilah yang
disebut dengan real learning dan real work (Steinberg, 2001).
4.
Active Exploration
Active exploration adalah usaha untuk mendorong siswa agar aktif melakukan
ekplorasi/penelitian, dengan menggunakan waktu secara efektif. Dalam tahap ini
peng-ajar harus mampu memacu dan sekaligus mendorong siswa untuk selalu
berusaha memecahkan masalah secara kontinyu dan jangan putus asa. Menurut Buck
Institute for Education (2001) dalam pembelajaran berbasis proyek siswa harus
mampu sebagai “discoverer, integrator, and presenter of ideas. Dalam
pelaksanaan penelitian ini, mendorong sikap dan tindakan siswa agar selalu active
exploration, ternyata merupakan sesuatu yang amat sulit. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perilaku siswa selama ini lebih banyak bersikap pasif dalam
setiap pembelajaran, dan sering dijumpai pengajar hanya bersikap sebagai
penyampai materi belaka, dan kurang mendorong keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran.
5.
Adult Relationship
Adult Relationship, terkait usaha memacu siswa agar mampu belajar dari orang lain yaitu
pada para praktisi expert dan bahkan pada para pekerja yang terkait
dengan masalah yang dikaji. Dalam proses adult relationship ini para
pengajar harus mendorong siswa untuk mampu bertanya, berdiskusi dan juga mengajak
merancang serta menilai kerja siswa. Dengan model belajar yang demikian diharapkan
siswa memiliki pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang mendalam terhadap
tugas yang sedang dikajinya.
6.
Assessment
Assesment,
adalah usaha agar siswa mampu melakukan penilaian secara teratur terhadap
proses belajar yang dilakukan. Di samping itu siswa juga harus mampu
mengembangakan kriteria penilaian sesuai standar yang berlaku di dunia kerja.
Penilain yang harus dilakukan siswa mencakup prosedur kerja/metode yang
dilakukan, waktu yang digunakan, hasil kerja dan hal-hal lain yang terkait
dengan penyelesian tugasnya. Dari hasil penilaian yang dilakukan siswa diharapkan
siswa dapat melihat kekurangan-kekurangannya, mampu memperbaikinya pada proses
berikutnya. Dalam salah satu kriteria pembelajaran berbasis proyek Kraf (1998)
menyebut hal ini sebagai “student self-assesment of learning is encourage”.
E. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning)
Secara umum karakteristik project
based learning mencakup isi, aktivitas, kondisi dan hasil. Secara
operasional hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Karakteristik
isi
Memuat ide-ide seperti, masalah disajikan
dalam bentuk keutuhan kompleksitas, siswa menemukan hubungan anta ride secara
in-displiner, siswa berjuang dengan ambiguitas, dan pertanyaan dunia nyata dan
menarik perhatian siswa.
2. Karakteristik aktivitas
Memuat
ide-ide investigatif seperti, siswa melakukan investigasi selama periode tertentu,
siswa dihadapkan pada suatu kesulitan, pencarian sumber dan pemecahan masalah
dalam merespon tantangan secara keseluruhan, siswa membuat
hubungan/keterkaitan antar ide-ide dan memperoleh ketrampilan baru seperti
melakukan kerja pada tugas-tuga yang berbeda, siswa menggunakan
perlengkapan.alat otentik/sesungguhnya (misalnya, teknologi/sumber-sumber
nyata), dan siswa melakukan umpan balik (refleksi) tentang nilai idenya dari
ahli lain/melalui tes realistik.
3. Karakteristik kondisi
Dukungan
terhadap otonomi siswa seperti, siswa mengambil bagian dalam masyarakat
inkuiri dan meneruskan latihan kerjanya di dalam konterk sosial, siswa diminta
memperagakan tingkah laku manajemen waktu dan tugasnya baik secara individu
maupun kelompok, siswa mengarahkan kerjanya
sendiri dan melakukan kontrol belajarnya, dan siswa melakukan simulasi kerja
profesional dari seorang sarjana, peneliti, engineer dan
praktisi-praktisi lainnya.
4. Karakteristik Hasil
Produk nyata seperti, siswa menghasilkan
produk intelektual yang kompleks yang menunjukkan hasil belajarnya (misalnya
model, benda nyata, laporan dan sejenisnya), siswa terlibat dalam melakukan self
assessment, siswa bertanggung jawab
terhadap pilihannya tentang bagaimana akan mendemonstrasikan kompetensi mereka,
dan, siswa memperagakan kompetensi nyata mereka seperti: keterampilan sosial,
keterampilan manajemen, keterampilan teknik dan sebagainya. Sebagai sebuah
model pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek mempunyai beberapa prinsip,
yaitu (1) centrality; (2) driving question; (3) contructive
investigation; (4) autonomy; dan (5) realism (Thomas, 2000).
F. Ciri-Ciri
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pembelajaran
berbasis proyek berangkat dari pandangan konstruktivism yang mengacu pada pendekatan
kontekstual (Khamdi, 2007). Dengan demikian, pembelajaran berbasis proyek
merupakan metode yang menggunakan belajar kontekstual, dimana para siswa
berperan aktif untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, meneliti,
mempresentasikan, dan membuat dokumen. Pembelajaran berbasis proyek dirancang
untuk digunakan pada permasalahan kompleks yang diperlukan siswa dalam
melakukan investigasi dan memahaminya.
Ciri
pembelajaran berbasis proyek menurut Center For Youth Development and
Education-Boston (Muliawati, 2010:10), yaitu:
1.
Melibatkan para siswa dalam
masalah-masalah kompleks, persoalan-persoalan di dunia nyata, di mana pun para
siswa dapat memilih dan menentukan persoalan atau masalah yang bermakna bagi
mereka.
2.
Para siswa diharuskan
menggunakan penyelidikan, penelitian keterampilan perencanaan, berpikir kritis
dan kemampuan memecahkan masalah saat mereka menyelesaikan proyek.
3.
Para siswa diharuskan
mempelajari dan menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam
berbagai konteks ketika mengerjakan proyek.
4.
Memberikan kesempatan bagi
siswa untuk belajar dan mempraktekkan keterampilan pribadi pada saat mereka
bekerja dalam tim kooperatif, maupun saat mendiskusikan dengan guru.
5.
Memberikan kesempatan para
siswa mempraktekkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk kehidupan
dewasa mereka dan karir (bagaimana mengalokasikan waktu , menjadi individu yang
bertanggungjawab, keterampilan pribadi, belajar melalui pengalaman).
6.
Menyampaikan harapan
mengenai prestasi/hasil pembelajaran; ini disesuaikan dengan standar dan tujuan
pembelajaran untuk sekolah/negara.
7.
Melakukan refleksi yang
mengarahkan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman mereka dan
menghubungkan pengalaman dengan pelajaran.
8.
Berakhir dengan presentasi
atau produk yang menunjukkan pembelajaran dan kemudian dinilai; kriteria dapat ditentukan oleh para siswa.
G. Langkah
– Langkah Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning)
Pada pendekatan
Project Based Learning, pengajar berperan sebagai fasilitator bagi
peserta didik untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan penuntun. Sedangkan pada
kelas ”konvensional” pengajar dianggap sebagai seseorang yang paling menguasai
materi dan karenanya semua informasi diberikan secara langsung kepada peserta
didik. Pada kelas Project Based Learning, peserta didik
dibiasakan bekerja secara kolaboratif, penilaian dilakukan secara autentik, dan
sumber belajar bisa sangat berkembang. Hal ini berbeda dengan kelas
”konvensional” yang terbiasa dengan situasi kelas individual, penilaian lebih dominan
pada aspek hasil dari pada proses, dan sumber belajar cenderung stagnan.
Langkah-langkah
pembelajaran dalam Project Based Leraning sebagaimana yang dikembangkan
oleh The George Lucas Educational Foundation (2005) terdiri dari :
1.
Start With the Essential Question Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan
esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik
dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan
realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam.
Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relefan untuk para peserta
didik (The George Lucas Educational Foundation : 2005).
2.
Design a Plan for the Project Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar
dan peserta didik. Dengan demikian peserta didik diharapkan akan merasa
“memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main,
pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial,
dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta
mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian
proyek (The George Lucas Educational Foundation : 2005).
3. Create a Schedule Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif
menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada
tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek,
(2) membuat deadline penyelesaian proyak, (3) membawa peserta didik agar
merencanakan cara yang baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat
cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk
membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara (The George
Lucas Educational Foundation : 2005).
4. Monitor the Students and the Progress of the
Project Pengajar
bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta
didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara
menfasilitasi peserta didik pada setiap proses. Dengan kata lain
pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar
mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam
keseluruhan aktivitas yang penting (The George Lucas Educational Foundation :
2005).
5.
Assess the Outcome Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian
standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masingmasing peserta
didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai
peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran
berikutnya (The George Lucas Educational Foundation : 2005).
6.
Evaluate the Experienceb Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan
refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan.
Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada
tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan
pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar danpeserta didik
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses
pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new
inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran (The
George Lucas Educational Foundation : 2005).
Penerapan Project Based Learning telah
menunjukan bahwa pendekatan tersebut sanggup membuat peserta didik mengalami
proses pembelajaran yang bermakna, yaitu pembelajaran yang dikembangkan
berdasarkan faham konstruktivisme. Peserta didik diberi kesempatan untuk
menggali sendiri informasi melalui membaca berbagai buku secara langsung,
membuat presentasi untuk orang lain, mengkomunikasikan hasil aktivitasnya
kepada orang lain, bekerja dalam kelompok, memberikan usul atau gagasannya
untuk orang lain dan berbagai aktivitas lainnya. Semuanya menggambarkan tentang
bagaimana semestinya orang dewasa belajar agar lebih bermakna.
H. Kelebihan
dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
1. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning)
Tidak satupun metode yang sempurna sehingga dapat dipakai
untuk semua pembelajaran. Namun, ada beberapa kelebihan dari setiap metode.
Adapun kelebihan dari penggunaan pembelajaran berbasis proyek menurut Kamdi
(Muliawati, 2010:13) adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi
Laporan-laporan tertulis tentang proyek
banyak yang mengatakan bahwa siswa tekun sampai lewat batas waktu, berusaha
keras dalam mencapai proyek.
2. Meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah
Penelitian pada pengembangan keterampilan
kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di
dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada
bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendeskripsikan
lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil
memecahkan problem-problem yang kompleks.
3. Meningkatkan kolaborasi
Pentingnya kerja kelompok dalam proyek
memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktikan keterampilan komunikasi.
Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi adalah
aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang baru dan
konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena social, dan bahwa
siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif.
4. Meningkatkan
keterampilan mengelola sumber
Bagian dari menjadi siswa yang
independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks.
Pembelajaran berbasis proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan
kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat
alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan
tugas.
2. Kekurangan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning)
Adapun kekurangan dari pembelajaran berbasis
proyek menurut Anita (2007: 27) adalah sebagai berikut:
1.
Tiap mata pelajaran
mempunyai kesulitan tersendiri, yang tidak dapat selalu dipenuhi di dalam
proyek.
2.
Sukar untuk memilih proyek
yang tepat.
3.
Menyiapkan tugas bukan
suatu hal yang mudah.
4.
Sulitnya mencari
sumber-sumber referensi yang sesuai.
I. Peran
Pembimbing/Pengajar dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan pembelajaran berbasis proyek peran dan tugas pengajar sangat jauh
berbeda dengan peran dan tugas pengajar dalam pembelajaran konvensional. Dalam
pembelajaran berbasis proyek pengajar diharapkan sebagai “resource provider
and participant in learning activities,” berbeda dalam pembelajaran konvensional pengajar lebih sebagai “lecturer and
director of instruction” dan dalam pembelajaran konvensional
pengajar menganggap dirinya sebagai “expert” sedang dalam pembelajaran
berbasis proyek pengajar harus mampu berperan sebagai “advisor/colleague”
(Buck Institute for Education, 2001). Secara lebih
rinci peran fasilitator adalah sebagai berikut :
1. Mengatur
kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
2. Memastikan bahwa sebelum mulai setiap
kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara
teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat
informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
3. Memberikan materi atau informasi pada
saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
4. Memastikan
bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
5. Menjaga agar
kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
6. Memonitor jalannya diskusi dan
membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar,
serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan
dalam proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan
dilakukan dalam urutan yang tepat.
7. Menjaga motivasi pelajar dengan
mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan
pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
8. Membimbing proses belajar pelajar
dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini
hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman
yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang,
dan lain-lain.
9. Mengevaluasi kegiatan belajar
pelajar, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu
memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagi
pemikiran dan pandangan.
10. Mengevaluasi
penerapan Project Based Learning yang telah dilakukan.
Perubahan
peran dan fungsi pengajar dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran
pembelajaran berbasis proyek tentu bukan merupakan sesuatu yang mudah,
khususnya bagi pengajar yang telah terbiasa dengan model pembelajaran
konvensional. Bagi pengajar yang telah terbiasa dengan pembelajaran konvensional,
perlu memahami hakekat dan filsafat pembelajaran berbasis proyek lebih mendalam,
dengan demikian diharapkan mampu memahami peran dan fungsinya sebagai pengajar.
J. Dukungan Teoritik
Pembelajaran Berbasis Proyek atau Belajar Berbasis Proyek adalah pendekatan pembelajaran yang merangkum sejumlah ide-ide pembelajaran, yang didukung oleh teori-teori dan penelitian substansial. Bagian ini mencoba mengetengahkan bahasan teoretik yang mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Menurut Mayer (1992), dalam praktik pendidikan, terutama setengah abad terakhir, telah terjadi pergeseran teori-teori belajar, dari aliran teori belajar behavioristik ke kognitif, dari kognitif ke konstruktivistik.
Implikasi pergeseran pandangan terhadap belajar dan pembelajaran tersebut adalah munculnya pandangan bahwa kurikulum sebagai body of knowledge atau keterampilan-keterampilan yang ditransfer adalah naif. Jika pandangan konstruktivis mengenai individu sebagai pengkonstruk pengetahuan mereka sendiri dapat diterima, maka mungkin lebih tepat memandang kurikulum sebagai serangkaian tugas dan strategi belajar. Oleh karena itu, perspektif kehidupan kelas pun menjadi berubah. Hakekat hubungan guru-siswa tidak lagi guru sebagai penjaja informasi dan siswa sebagai penerima informasi semata, tetapi guru lebih sebagai pembimbing dan pendamping berpikir kritis yang konstruktif. Lingkungan kelas dirancang untuk memberikan setting sosial yang mendukung konstruksi pengetahuan dan keterampilan (Driver & Leach, 1993).
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model pembelajaran yang didukung oleh atau berpijak pada teori belajar konstruktivistik. Strategi pembelajaran yang menonjol dalam pembelajaran konstruktivistik antara lain adalah strategi belajar kolaboratif, mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, mengenai kegiatan laboratorium, pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming, dan simulasi (Ajeyalemi, 1993). Beberapa dari strategi tersebut juga terdapat dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu
1.
Strategi belajar
kolaboratif
2.
Mengutamakan aktivitas
siswa daripada aktivitas guru
3.
Mengenai kegiatan
laboratorium
4.
Pengalaman lapangan
5.
Pemecahan masalah.
Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide
dan interpretasi siswa dalam belajar, dan memberikan alternatif-alternatif
melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.
Dari berbagai karakteristiknya, Pembelajaran Berbasis
Proyek didukung teori-teori belajar konstruktivistik. Dalam konteks pembaruan
di bidang teknologi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang
sebagai pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong pebelajar
mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung. Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar
sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu, dan pebelajar
mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung.
Menurut banyak literatur, konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa pebelajar mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka sendiri (Murphy, 1997; Brook & Brook, 1993, 1999; Driver & Leach, 1993; Fraser, 1995). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif pebelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif “menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar bukanlah murni fenomena stimulus-respon sebagaimana dikonsepsikan para behavioris, akan tetapi belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi (von Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mendekatkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam (Barron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek, yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata, berpotensi memperluas dan memperdalam pengetahuan konseptual dan prosedural (Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing how (Wilson, 1995). Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the disposition to ‘do’ (Kerka, 1997). Perluasan dan pendalaman pemahaman pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan akademiknya.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek juga dilandasi oleh teori belajar konstruktif. Menurut Simons (1996) belajar konstruktif harus dilakukan dengan menumbuhkan upaya siswa membangun representasi memori yang kompleks dan kaya, yang menunjukkan tingkat terhubungan yang kuat antara pengetahuan semantik, episodik, dan tindakan. Sebagaimana dinyatakan Simons (1996), representasi memori terbagi menjadi tiga jenis: representasi semantik, episodik, dan tindakan. Representasi semantik mengacu pada konsep dan prinsip dengan karakteriktik yang menyertainya, representasi episodik didasarkan pada pengalaman personal dan afektif, dan representasi tindakan mengacu pada hal-hal yang dapat dilakukan dengan menggunakan informasi semantik dan episodik, misalnya penyelesaian jenis masalah tertentu, dengan menggunakan pengetahuan tertentu. Idealnya, hubungan antar tiga jenis representasi pengetahuan tersebut kuat. Oleh karena itu, prinsip belajar konstruktif adalah menekankan usaha keras untuk menghasilkan keterhubungan tiga jenis representasi pengetahuan tersebut. Prinsip belajar konstruktif tersebut juga mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Bagian-bagian dari prinsip belajar konstruktif seperti belajar yang berorientasi pada diskoveri, kontekstual, berorientasi masalah, dan motivasi sosial juga menjadi bagian-bagian prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek. Strategi belajar kolaboratif yang diposisikan amat penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek juga menjadi tekanan teoretik belajar konstruktif. Learning together with other learners can be a very powerful form of learning, in which learners help each other’s construction processes (Simons, 1996:294).
Strategi belajar kolaboratif tersebut juga dilandasi oleh teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky merekomendasikan adanya level atau zona, di mana siswa dapat lebih berhasil tetapi dengan bantuan partner yang lebih bisa atau berpengalaman. Vygotsky mendifinisikan ZPD sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditunjukkan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial seperti ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (the distance between the actual development level as determined by independent problem-solving and the level of potential development as determined through problem-solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers) (Gipps, 1994:24—25). Partner ini tidak mendekte apa yang harus dilakukan sejawat yang belajar padanya, akan tetapi mereka terlibat di dalam tindakan kolaboratif, demonstratif, modeling dan sejenisnya.
Prinsip kontekstualisasi yang menjadi karakteristik penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, diturunkan dari ide dasar teori belajar konstruktivistik. Para konstruktivis mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif membangun realitas dari pengalaman belajar. Bagaimana pun, belajar tidak dapat terlempas dari apa yang sudah diketahui pebelajar dan konteks di mana hal itu dipelajari (Bednar, Cunningham, Duffy, & Perry, dalam Dunn, 1994). Para konstruktivis itu tidak menyangkal eksistensi (objektivitas) dunia nyata, akan tetapi dikatakannya bahwa makna apa yang kita bangun dari dunia nyata adalah indiosyncratic. Tidak ada dua orang yang membangun makna yang sama, karena kombinasi pengalaman dan pengetahuan sebelumnya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Atas dasar keyakinan tersebut direkomendasikan bahwa pembelajaran perlu diletakkan dalam konteks yang kaya yang merefleksikan dunia nyata, dan berhubungan erat dengan konteks di mana pengetahuan akan digunakan. Singkatnya, pembelajaran perlu otentik. Seperti telah diuraikan di bagian depan, Pembelajaran Berbasis Proyek adalah salah satu model pembelajaran yang berlatar dunia otentik.
Jonassen (1991), dan Brown, Collins dan Duguid (1988) juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara lebih efektif di dalam konteks, dan bahwa konteks menjadi bagian penting dari basis pengetahuan yang berhubungan dengan proses belajar tersebut. Implikasinya di dalam pembelajaran adalah penciptaan lingkungan belajar yang riil, otentik dan relevan sebagai konteks belajar tertentu. Guru dan model pembelajaran yang diciptakannya berfokus pada pendekatan realistik yang memudahkan siswa belajar memecahkan masalah dunia nyata (Jonassen, 1991). Lingkungan belajar konstruktivistik yang dimaksud adalah: “a place where learners may work together and support each other as they use a variety of tools and information resources in their pursuit of learning goals and problem-solving activities (Wilson, 1995:27). Pembelajaran Berbasis Proyek juga merupakan pendekatan menciptakan lingkungan belajar yang realistik, dan berfokus pada belajar memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia nyata.
Pembelajaran Berbasis Proyek juga didukung oleh teori belajar eksperiensial. Seperti dikatakan William James bahwa belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas diri sendiri, pengalaman sensoris adalah dasar untuk belajar, dan belajar yang efektif adalah holistik, dan interdisipliner (dalam Moore, 1999). Prinsip-prinsip ini juga diterapkan dalam Pembelajaran Berbasis Proyek. Pebelajar mengendalikan belajarnya sendiri, mulai dari pengidentifikasian masalah yang akan dijadikan proyek sampai dengan mengevaluasi hasil proyek. Guru/dosen berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan partner belajar. Tema proyek yang dipilih juga bersifat interdisipliner, karena mengandung unsur berbagai disiplin yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dalam proyek yang dikerjakan itu. Apa yang dilakukan pebelajar dalam proses pembelajaran adalah pengalaman-pengalaman sensoris sebagai basis belajar. Ditegaskan oleh John Dewey bahwa pengalaman adalah elemen kunci dalam proses pembelajaran (Moore, 1999; Knoll, 2002). Dewey memandang belajar sebagai “process of making determinate the indeterminate experience”. Makna dari berbagai pengalaman adalah sebuah hubungan yang saling tergantung antara apa yang dibawa oleh pebelajar dalam situasi belajar dan apa yang terjadi di dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman sebelumnya, pada pengalaman baru orang membangun pengetahuan baru (Billet, 1996). Kerja proyek dapat dipandang sebagai proses belajar memantapkan pengalaman yang belum mantap, memperluas pengetahuan yang belum luas, dan memperhalus pengetahuan yang belum halus, sebagaimana juga dikatakan oleh Marzano (1992) bahwa belajar melalui pengalaman nyata (misalnya, investigasi dan pemecahan masalah-masalah nyata) dapat memperluas dan memperhalus pengetahuan.
Berdasarkan teori-teori belajar konstruktivistik yang dirujuk di atas, maka Pembelajaran Berbasis Proyek dapat disimpulkan memiliki kelebihan-kelebihan sebagai lingkungan belajar: (1) otentik-kontekstual (goal-directed activities) yang akan memperkuat hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya; (2) mengedepankan otonomi pebelajar (self-regulation) dan guru/dosen sebagai pembimbing dan partner belajar, yang akan mengembangkan kemampuan berpikir produktif; (3) belajar kolaboratif yang memberi peluang pebelajar saling membelajarkan yang akan meningkatkan pemahaman konseptual maupun kecakapan teknikal; (4) holistik dan interdisipliner; (5) realistik, berorientasi pada belajar aktif memecahkan masalah riil, yang memberi kontribusi pada pengembangan kecakapan pemecahan masalah; dan (6) memberikan reinforcement intrinsik (umpan balik internal) yang dapat menajamkan kecakapan berpikir produktif.
I. Perbedaan
Kelas Projet Based Learning dengan Lingkungan Kelas Tradisional
Dalam
peranan seorang guru juga telah tampak adanya perbedaan, berikut ini disajikan perbedaan kelas pembelajaran yang
berbasis proyek dengan kelas tradisional pada tabel 1 seperti di bawah ini :
Tabel 1 Perbedaan Kelas Projet
Based
Learning
dengan
Lingkungan Kelas Tradisional
Kelas Projet Based Learning
|
Kelas Tradisional
|
Kurikulum
·
Mengacu pada kurikulum yang baku
·
Cakupan materi yang lebar
·
Menghafal materi tanpa berpikir
fakta
|
Kurikulum
·
Jangka panjang, interdisciplinary,
pelajar sebagai pusat perhatian dalam menyimak isu dunia nyata yang menarik
perhatian pelajar
·
Adanya investigasi dan riset yang
mendalam
·
Mahami proses, mendorong kemampuan
berpikir kritis dan menghasilkan penemuan
|
Kelas
·
Pengajaran dilakukan dengan
penempatan pelajar pada tempat duduk yang rapih dan kaku dalam format baris dan kolom
·
Berupaya merangkul semua orang
bersama-sama, belajar di langkah dan bobot yang sama
·
Berusaha secara individu untuk
mencapai target
|
Kelas
·
Pelajar duduk secara fleksibel,
santai dan
berkolaborasi di dalam tim
·
Petunjuk pembelajaran fleksibel,
banyak perbedaan tingkat dan topik yang dipelajari oleh tiap pelajar
·
Mendorong pelajar bekerja dalam tim
yang heterogen untuk mencapai target
|
Pengajar
Pengajar sebagai pemberi ceramah/ arasumber dan tenaga ahli
|
Pengajar
Pengajar sebagai fasilitator dan
menyediakan sumber daya
|
Pelajar
Bergantung kepada pengajar dalam
menyelesaikan intruksi
|
Pelajar
·
Bertanggung jawab atas diri sendiri,
menggambarkan tugasnya sendiri dan bekerja sebagai anggota suatu tim untuk
waktu tertentu dengan suatu target
·
Pengajar berfungsi sebagai pemandu
|
Teknologi
Memberikan reward bagi yang
menyelesaikan tugas dan sebaliknya memberikan hukuman bagi yang tidak
menguasai konsep
|
Teknologi
Menggunakan
alat yang terintegrasi dalam semua aspek kelas, seperti dalam pemecahan
masalah, komunikasi, meneliti hasil, dan mengumpulkan informasi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar